Langsung ke konten utama

Rindu Yang Berlumut




Author: Flore
Genre: Romance, sad, psycology, etc
Lenght: OneShoot
Cast: Park Na Eun, Xi Luhan 

***
 
Seoul, 9 April 2016
 
Seorang gadis cantik berambut pirang panjang dengan keriting di ujungnya tergerai indah, terduduk dalam posisi santai di ayunanan taman, sedang netranya mengadah ke atas langit. Gadis itu adalah Park Na Eun.

Sepanjang hari Park Na Eun selalu menghabiskan waktunya di taman, bahkan meski bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah melewatkan waktunya untuk tidak pergi ke taman.

Mungkin orang-orang menganggap Park Na Eun–gadis berusia 21 tahun itu–gila karena Na Eun tidak pernah alpa mendatangi taman, walau hanya untuk duduk di ayunan dan membiarkan semilir angin terbangkan anak rambut pirangnya dengan nakal.

Tidak pernah ada yang tau, alasan Na Eun menghabiskan waktunya di taman. Biarlah orang-orang menganggapnya gila. Mungkin ya memang gila karena menunggu pangeran masa kecilnya datang menepati janjinya. Meskipun berjalannya waktu penantiannya belum membuahkan hasil.

Park Na Eun kecil adalah gadis cantik yang manja. Na Eun telah bertemu cinta pertamanya saat ia berusia 12 tahun, Luhan, dia adalah cinta pertamanya.
Tepat di taman ini Luhan kecil yang berusia 13 tahun menyatakan cintanya pada Na Eun. Taman ini adalah janji bisu cintanya. Dan saat ini Park Na Eun masih berada di taman, berharap Luhan datang menepati janjinya yang terucap dari mulut mungil Luhan kecil saat itu.

Seoul, 09 April 2010

Langit malam mulai berhias bulan sabit yang tertutup awan, di sana bintang berkelap-kelip genit menimbul tenggelamkan cahaya indahnya. Na eun mendudukan diri berayun-ayun, menikmati semerbak bunga musim semi yang tertata rapi di hadapannya mulai bermekaran, aromanya meyeruak hingga sampai ke arvielus.

Luhan memacu langkahnya membelah desauan angin malam kota Seoul dengan cepat. Tergurat raut kekhawatiran di wajah tampannya. Setelah sampai di taman satu helaan napas lega meluncur keluar dari mulut Luhan. Dilangkahkan tungkai kakinya mendekati gadis yang sedang duduk di ayunan.

“Maaf, aku terlambat,” Luhan mendudukkan diri di ayunan samping  Na Eun. Muncul perasaan bersalah di hatinya kala manik matanya bertemu dengan manik mata hazel Park Na Eun.

“Tidak masalah,” bibir Na Eun tertarik ke atas membentuk bulan sabit, menancapkan senyum musim semi yang menghangatkan.

Luhan mengubah posisinya menjadi berdiri, mensejajarkan tubuhnya berhadapan dengan Na Eun.
Luhan menarik tangan Na Eun, menyeretnya ketempat bunga yang sedang bermekaran. Tangan Luhan memetik salah satu bunga di sana, memberikannya pada Na Eun.
Na Eun terpaku dengan perlakuan Luhan, jantungnya berdebar tak karuan. Kinerja organ di tubuhnya menggila, juga napasnya yang mendadak tak beraturan. Padahal dia jelas tidak mempunyai riwayat penyakit asma.

“Go-gomawo, Luhan-Ah,” Na Eun berucap dengan nada gugup, saat ini Luhan telah mengalihkan segala afeksinya.

 “Park Na Eun?”
“Hmm ...,”

“Aku mencintaimu.” 
Sebenarnya saat ini Luhan sedang dilanda sindrom gugup, kekhawatirannya akan kehilangan Na Eun membuatnya memberanikan diri mengungkapkan perasaaannya. Sejak awal kepindahan Luhan ke Seoul dan bertemu dengan Na Eun tepat di taman ini empat bulan yang lalu, tepat saat itu juga Luhan mulai mencintai Na Eun.

“A-apa ... maksudmu?” 
Na Eun tidak bisa menyumbunyikan kegugupannya di depan Luhan. bagaimana tidak, setelah mengalihkan segala afeksinya apakah Luhan juga akan mengambil oksigennya, karena saat ini paru-paru Na Eun sesak membuatnya tidak bisa bernapas dengan benar.

“Na Eun, aku tidak bisa menutupi perasaanku lagi, Aku sungguh mencintaimu. Aku tidak menjanjikan untuk selalu bersamamu atau selalu menghabiskan waktu bersamamu, tapi aku menjanjikan sebuah kesetiaan dan cinta yang tulus.”

“Luhan, aku juga mencintaimu, aku harap kau benar-benar menepati janjimu.”

“Tentu saja. Na Eun ... kau hidup dan bernapas di dalam hatiku, kau berjalan di dalam detak jantungku. Bahkan sejak hari pertama kita bertemu aku sudah menyimpan rasa ini.”

Malam ini cinta Luhan dan Na Eun telah bersatu, bersamaan dengan itu malam ini juga menjadi perpisahan jarak diantara mereka.

Keesokan harinya tak ditemui lagi Luhan di rumahnya ataupun di taman. Orang-orang bilang Luhan telah kembali ke China, bersama keluarganya.

Sejak saat itu Park Na Eun hanya menghabiskan waktunya di taman menanti janji kesetian Luhan, karena Na Eun tahu Luhan akan menepati janjinya seperti yang Luhan katakan waktu itu.

Seoul, 09 April 2016

Senja telah berganti malam, Na Eun masih berduduk manis di ayunan taman, berharap pada takdir yang akan membawa cintanya kembali.

Seorang pria tampan dengan baju kasual berwarna biru navy dipadu dengan celana jins berwarna hitam semakin menambah ketampanannya. Mulai melangkahkan kakinya mendekati seorang gadis yang sedang duduk di ayunan–Na Eun–Didudukannya ayunan yang berada di samping Na Eun.

Netra hazelnya menatap rindu gadis di sampingnya, sedangkannNa Eun tidak menyadari ada seseorang sedari tadi yang berada di sampingnya, menatapnya penuh rindu.
Sampai pria itu mulai mengeluarkan suaranya, "Na Eun!"

Na Eun yang mendegar suara itu, seketika pikirannya kembali. Ingatannya tidak pernah lupa siapa pemilik suara itu, suara yang sangat dirundukannya selama tujuh tahun ini.
 “Luhan?” Na Eun langsung bangkit dari duduknya, menatap Luhan dengan candu.

“Terimakasih telah menungguku selama tujuh tahun, Park Na Eun.”

Na Eun sudah tidak bisa menanggung lagi rindu pada Luhan, bulir-bulir air mata mulai berlomba keluar dari kelopaknya. Na Eun langsung memeluk Luhan, melepas rindu yang menyesakkan dada, menghimpitkan jarak yang telah memisahkan mereka selama tujuh tahun.

30 menit telah berlalu, kini mereka saling berdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Na Eun?”
Suara Luhan memecahkan keheningan diantara mereka. Luhan memegang pundak Na Eun, netraya menatap Na Eun Lekat, seolah berbagi cerita dibalik tatapannya.

“ya.”

“kau ingat, dulu kita sering menghabiskan waktu di sini.”

“Tenttu saja. Aku tidak akan pernah melupakannya, Babo.”

“Aish, kau tetap saja seperti dulu, gadis manja dan cerewet.”

“Aku marah padamu, kenapa kau pergi begitu saja!”

Luhan pergi meninggalkan Na Eun yang berdiri di sana. Kakinya mulai mendekati bunga-bunga yang bermekaran di bulan April.

“Lupakan aku, Na Eun,”
Luhan berkata dengan memunggungi Na Eun yang berada tidak jauh darinya. Luhan tahu itu akan menyakitkan untuk Na Eun, bukan hanya untuk Na Eun tapi juga untuknya.

“Mwo! Apa yang kau katakan?!” 
Na Eun tidak bisa menutupi rasa sakit di hatinya, tapi dia tahu Luhan pasti bercanda.

“Aku akan pergi lagi setelah ini. Aku tidak akan pernah kembali lagi ke Seoul. Jadi lupakan aku. Kalau perlu benci aku karena tidak bisa menepati janjinya untuk setia padamu Na Eun.” 

Luhan menghadapkan tubuhnya pada Na Eun. Kilasan tentang masa kecilnya menyerumuk di benak otak. Ada desiran yang terasa sakit menghantam ulu hati Luhan.

“A-apa ma-ksudmu?” tangan Na Eun bergetar hingga tanpa sadar membuatnya terkepal begitu erat. Air mata menumpuk di kedua kelopak matanya.

“Apa perlu aku ulang!!”
vokal Luhan menaik dua oktaf membuat siapa pun yang mendengarnya akan mematung remuk.

Air mata langsung menetes membelah kedua pipi tirus Na Eun menciptakan aliran sungai kecil.
”Ja-jangan per-gi ...,”  Na Eun membuka suaranya yang terdengar bergetar.
Pundak Na Eun berguncang-guncang. Isakan kecil menerjang indra pendengaran Luhan. tak pelak hal itu membuat hatinya sakit seperti teriris pisau tajam tak kasat mata.

Dalam satu tarikan Luhan membawa Na Eun ke dalam rangkuhannya. Dagunya jatuh ke pucuk kepala Na Eun yang menyebarkan wewangian dari sampo mawar kesukaan Na Eun.

“Maaf ...,” lirih Luhan.

Na Eun memukul dada Luhan sekeras yang ia bisa.

“Jangan pergi lagi!” Na Eun kembali memukul.

 “Kumohon ...,” Na Eun terus memukul dada Luhan untuk menyalurkan kesedihannya.

”AKU MOHON, LUHAN!!”

“Jangan percaya pada cintaku seperti orang bodoh! Aku bilang aku akan setia tapi itu semua bohong. Aku hanyalah pembohong!”

Na Eun menggeleng.”Aku tidak peduli, kaulah atmosferku, kau harus tetap di sini!”

“Maaf ... aku tidak bisa, aku harus pergi Na Eun ...,” pelukan itu semakin erat. Tangis Na Eun semakin kencang meraung-raung.

” Lupakan aku ... meskipun itu sakit.”

Pelukan Luhan sesaat terasa erat dan hangat namun perlahan-lahan pelukan tersebut mengendur. Bersamaan dengan itu pula Na Eun jatuh meluruh ke tanah. Hatinya terasa kosong dan hampa.
Perpisahan itu terasa begitu kejam. Bahkan air mata seolah tak mampu membasuh luka.

“Aku tidak bisa, jangan pergi. Kumohon,” lirih Na Eun terbawa semilir angin malam.

“Na Eun, kau akan tetap menjadi bagian dalam hidupku, napasku, detak jantungku, aku tetap mencintaimu.”

“Kalau begitu, jangan pergi!” 

“Jika aku diizinkan sekali lagi ...,” Luhan menguatkan dirinya,”untuk kita bisa bertemu. Bahkan itu hanya dalam kenangan masa lalu.” Tanpa terasa satu tetes air mata berhasil menjebol pertahanan Luhan.

“LUHAN!!”

 Hanya tersisa derap langkah Luhan yang semakin menjauh darinya.
Pada cinta Park Na Eun rela menanti, walau tahunan berlumut rindu harus berbalas luka yang menusuk pedih.
Biarlah sabda cinta membawanya pada alur yang bergelombang, karena cinta tak pernah berdusta.

END

Komentar